Dive Deep into Creativity: Your Ultimate Tumblr Experience Awaits
tepat saat ini aku merasa rindu untuk bermimpi. walaupun dulu sepertinya banyak takut dan ragunya. sekarang sepertinya mimpi itu bahkan bukan lagi takut atau ragu, melainkan tidak ada? boro-boro mikirin mimpi, seringnya berkutat dengan emosi yang seringnya mengganggu.
dulu, ditengah lelahnya menjalani proses belajar, terselip mimpi2ku dalam doa.
sekarang, rasanya aku mudah sekali berprasangka. padahal inginnya, aku tidak mengikuti emosi itu.
tapi mungkin ini seninya.
menjalani hidup tanpa harus banyak menuntut. dan bukankah prosesku belum selesai?
mimpiku detik ini: semoga proses ini tidak sia-sia. smoga aku terlahir menjadi orang yang lebih dan lebih bijak dalam menghadapi hidup. dan smoga kebaikan akan slalu menyertaiku.
puasa kemarin aku beberapa kali bukber bersama temanku, mulai dari teman sd sampai kuliah. seperti biasa kami life update. seru banget jadi tau "oh dia disini" atau "dia sekarang udah gadisini" dan masih banyak lagi.
tiba-tiba terlintas perasaan: ko aku gini-gini aja ya?
beberapa minggu setelahnya baru terpikir bagaimana bisa aku memiliki perasaan itu. sepertinya berawal dari aku yang membandingkan pencapaian diri dengan temanku. lebih jelasnya dari seberapa besar materi yang didapat.
semenjak lulus tahun 2022, tidak sedikit teman-temanku yang sudah menjadi "orang" dengan pencapain materi yang fantastis. padahal pada masanya, kami duduk dikelas yang sama. terkesan menyedihkan tapi nyatanya, tidak juga.
jika materi yang dijadikan standar sudah barang pasti itu menyedihkan. tapi ternyata itu bukan hanya tentang materi tapi tentang rizq (rezeki).
rezeki itu luas dan materi itu hanya bagian dari rezeki. materi yang berlebih jika dibandingkan dengan materi yang cukup ditambah kenikmatan yang banyak sekali seperti sehat, keberadaan keluarga, waktu yang cukup, sepertinya sepadan atau bahkan lebih besar.
ingat betul umi pernah bilang "mungkin umi kerja gini-gini aja tapi setidaknya umi bisa nguliahin 2 anak umi sampe selesai"
betapa mudahnya ia melihat kebaikan yang Allah berikan dan perlunya aku belajar darinya tentang syukur.
perlu digarisbawahi bahwa makna syukur tidak sama dengan pasrah. menurutku syukur itu perlu hadir disaat kita sudah ikhtiar semaksimal mungkin. wallahu 'alam.
semoga kita bisa terus menjadi hambaNya yang mau berusaha dan bersyukur✨ aamiin
Pandemi membuat banyak perubahan bagi banyak orang, termasuk aku. Keadaan rumah, orang sekitar, bahkan suasana hatipun dengan mudahnya berubah. Lagi-lagi pandemi. Yasudahlah emang bisa apa?
Pagi itu tidak seperti biasanya harus bangun lebih pagi. Aku yang punya kebiasaan tidur setelah subuh parah banget gaboleh ya gais dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kebiasaan itu gabisa dilakukan lagi. Susah pake banget. Menggerutu, cemberut, nguap2. Kondisi pandemi ini menyebabkan umi pada akhirnya memutuskan buat gabalikin bibi kerumah untuk ngerjain pekerjaan rumah. Alhasil beginilah. Anak perempuan pertamanya menjadi andalan.
Maghrib kala itu kami dikumpulkan bersama oleh umi. Gabiasanya. Disitu umi cerita tentang keputusannya buat ga balikin bibi kerumah dan pembagian tugas anak-anaknya dirumah. Ditutup dengan “Teteh ikhlas ya?”
Pekerjaan yang pada awalnya terkesan sederhana ternyata tidak sesederhana itu, apalagi pada awalnya dengan aku yang tidak terbiasa. Apa bisa? Waktu berlalu tak terasa, terlewati beberapa bulan. Kebiasaan melakukan pekerjaan rumah sudah menjadi rutinitas ternyata. Tak disangka. Membagi waktu dan membuat timeline harian ternyata juga sudah menjadi kebiasaan. Tak disangka. Lelah bercampur makan hati diawal ternyata membuahkan rasa haru dan bangga. “Alhamdulillah kamu bisa!” Yang awalnya hanya mengandalkan telor ceplok atau mie kuah sekarang bisa masuk sayur dan lauk pauk. Tidak mewah tapi cukuplah membuat hati bahagia dengan “Wih sekarang masakan teteh enak ya!”
Tak sampai disitu, ternyata cobaan lain juga bermunculan. Selain pekerjaan rumah, urusan adik-adiknya pun menjadi tanggung jawab, bantuin belajar dan bangunin sekolah. Lagi-lagi tidak semudah itu ya. Suasana hati yang kala itu tidak bisa berdamai dengan ketidakidealan kondisi membuatnya marah. Marah sejadi-jadinya.
“Teteh kalau kesel gausah bantuin umi gapapa, umi masih bisa ko” tertampar sekali dengan ucapan umi pagi itu. Aku yang baru beberapa bulan dengan rutinitas baru ini bisa-bisanya mengeluh, bisa-bisanya marah. Rasa bersalah memenuhi hati karena sadar tidak selayaknya menyalahkan keadaan. Diri ini sudah lagi bukan anak kecil. Ayo sadarlah.
Rasa bersalah itupun akhirnya mendorongku untuk meminta maaf pada umi. Menangisi keadaan diri yang masih belum bisa menyikapi situasi dengan sebaik-baiknya. Meluapkan semua masalah rumah termasuk adik-adik yang sungguh tidak mudah. Umi dengan kekuatan seorang ibu dengan bijaknya menjawab keluhanku. “Banyak banget PR umi, Teh. Nanti teteh sebelum nikah, banyakin ilmu dulu ya”
Ternyata latihan jadi ibu aja gamudah, apalagi menjadi the real ibu? Bukannya menakuti. Hanya menjadikan bentuk renungan untuk lebih memaknai proses pernikahan serta tanggung jawab yang akan diemban jadi... bisa mempersiapkannya dengan matang dan pada akhirnya bisa menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya